Minggu, 06 September 2009

Menulis Untuk Mencerdaskan

Dimuat di kolom Surat Pembaca Harian Kompas Jawa Tengah
Senin, 31 Agustus 2009 : D


Esensi pendidikan adalah mempersiapkan anak didik agar mereka terus mampu belajar, sepanjang hayat. Perkembangan iptek yang cepat membuat pengetahuan dan keterampilan tiap individu juga cepat sekali usang, walau sering tidak kita sadari.

Salah satu cara belajar yang terbaik adalah menulis, karena menulis mempersyaratkan pelakunya harus juga membaca. Pembaca tidak selalu penulis, tetapi penulis pastilah seorang pembaca.

Merujuk hal penting di atas, saya menaruh salut atas kreasi guru dan murid SD Muhammadiyah Program Khusus Kotabarat Solo. Mereka mengadakan lomba menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jumat (21/8). Ratusan surat-surat mereka itu ditempel pada spanduk putih dan surat yang terbaik akan dikirimkan kepada Presiden SBY.

Sebagai penggerak komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, saya usulkan agar semua surat mereka itu didokumentasikan dalam bentuk CD atau buku dan disimpan di perpustakaan sekolah. Sehingga dokumen berharga itu tidak hanya berumur sehari.

Sekadar info, tanggal 14 Agustus 2009, saya diminta untuk memberikan motivasi kepada ratusan anak-anak pelajar, SD sd SLTA, Desa Pakisbaru, Nawangan, Pacitan. Mereka telah mendokumentasi surat-surat mereka yang ditujukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono dalam bentuk buku yang menarik sebagai bacaan.*

Kreasi mereka pantas ditiru dan Epistoholik Indonesia senantiasa menyebarkan virus kegemaran menulis ini, yang dimulai dari menulis surat, untuk menggembleng generasi Indonesia agar cinta kegiatan menulis dan membaca demi terus mengasah kecerdasan diri mereka. [Surat pembaca yang dimuat telah dilakukan penyuntingan].


Bambang Haryanto
Pendiri Epistoholik Indonesia


Catatan : *Buku yang berjudul Kepada Yth. Ibu Negara di Istana Merdeka : 151 Suara Hati dari Anak Puncak Brengos Pacitan itu diterbitkan secara print on demand oleh Indonesia Buku.



pps

Sabtu, 05 September 2009

Monster Buku, Buku Monster dan Print On Demand

Email ke Muhidin M Dahlan dan Diana AV Sasa, 18 Agustus 2009


Dear Gus Muh, Muhidin M Dahlan,
Dear mBak Diana AV Sasa,

Wabah gigantism. Salam sejahtera. Wonogiri dulu terkenal sebagai sarang penderita sakit beriberi. Si penderita kakinya bengkak, akibat kekurangan gizi.

Kini Wonogiri, berkat virus Anda berdua, terserang demam gigantism. Sakit Godzilla. Size does matter, walau tak terkait dengan kreativitas a la Mak Erot. Karena terkait dengan buku.

Kredo Gus Muh saat mengobrol di Kajen, lalu saya temui di (buku berjudul) Para Penggila Buku, tentang buku yang tak mampu rubuh dengan dorongan jari, sungguh-sungguh menggoda saya. Buku-buku Indonesia Buku nampaknya bila hendak didorong jatuh harus juga menyebabkan raknya rubuh. Atau bahkan perpustakaanya juga wajib ikut runtuh.

Semua itu terjadi berkat POD, print on demand atau BID, book on demand, bukan ? Saya pernah membaca ulasannya di Kompas dan memperoleh brosur [tak komunikatif] dari Kanisius. Masih blur.

Ketika dalam perjalanan Kajen-Pakis Baru, ketika mBak Diana menyebutkan POD, gambarnya semakin jelas : saya mulai menemukan jawaban. Ditambah kredo buku anti rubuh dari Gus Muh, maka lampu-lampu baru di kepala saya tentang buku menyala. Atau menyala lagi. Saya menemukan jalan.

Arwah buku ketiduran. Dalam perjalanan pulang diantar Bapak, di antara kelok-kelok tajam jalan Pakis Baru-Purwantoro [10 menit pertama, kayaknya saya akan mabuk, untung saya ingat isi dekoder, cara penyajian buku secara unik, tentang teknik shiatsu, sehingga engga jadi muntah mengotori jok mobil], saya sempat bilang ke Bapak Anda :

“Saya juga suka buku, tetapi ketika bertemu Gus Muh dan mBak Diana, saya rasanya masih berada jauh di tepian. Tak mengira betapa buku bagi mereka (Anda berdua) sudah menjadi sebuah kegilaan yang mendalam. Ya membaca, ya memproduksikannya . Bukan main !”

Hitung-hitung, sudah 22 tahun “arwah buku” itu tidur panjang dalam hidup saya. Tahun 1987, terbit dua buku kumpulan lelucon saya. Tahun 2004, naskah buku sepakbola saya ditolak Galang Press (OK, tak apa). Lalu diumpetin satu setengah tahun, mereka bilang hilang, di gudang penerbit Tiga Serangkai Solo. Diterbitkan tidak, dikembalikan juga tidak.

Sesudah saya tulis di surat pembaca, naskah itu ditemukan, lalu mereka kembalikan dengan imbalan sekadarnya. Saya lalu jadi “kanji” alias traumatis dengan penerbit.

Syukurlah, setelah berkemah di kedinginan Pakis Baru, selain menyemangati anak-anak Pakis Baru, Pacitan, untuk melanjutkan kegiatan menulis sesudah peluncuran buku mereka (foto), ketemu Anda berdua dan cerita-cerita POD/BID, semoga kini arwah buku dalam diri saya itu bisa hidup lagi. Terima kasih.

Oh ya, mBak Diana, di Para Penggila Buku, Anda belum atau tidak banyak menyebut Wonogiri. Apakah di blog-blog Anda, cerita Anda saat di Wonogiri, ada ? Suatu saat saya pengin menulis di blog saya, The Morning Walker, cerita tentang pertemuan saya dengan Anda, yang sungguh ajaib, membuka mata saya betapa sedikit-banyak Wonogiri punya andil bagi diri karier literasi Anda sampai saat ini. Wonogiri harus mendengar dan membaca hal ini.

Seperti diri saya sendiri sebagai blogger, banyak orang Wonogiri tak tahu akan hal itu. Tak apa. Oleh karenanya, walau nantinya tak dibaca ribuan orang, saya ingin memperoleh cerita dari Anda tentang tahun-tahun di Wonogiri Anda. Saya ingin meneteskan keluhuran ini, lewat blog, kepada wong Wonogiri terkait penemuan tak terduga saya dengan diri Anda.

Karena untuk blog, silakan sebut saja banyak sekali nama, baik terkait dengan SD 3, SMPN 1, SMAN 1 (?), teman-teman sekelas dan atau guru, selain orang terdekat Anda dalam ranah literasi, Suster Anthony atau pun tentang mBah Iman Moestari. Ga buru-buru, mBak Sasa. Kirim ceritanya, ketika Anda tak lagi sibuk saja. Matur nuwun.

Penulis yang berbahaya. Kabar lain, masih ingat nama Khoe Seng Seng ? Penulis surat pembaca yang terancam dihukum itu, penerima Tasrif Award 2009 itu (foto), kini DILAPORKAN LAGI oleh eksekutif pengembang, PT Duta Pertiwi, yang juga menjeratnya dengan pasal-pasal pencemaran nama baik LAGI.

Dulu Pak Khoe diperiksa langsung oleh Mabes Polri, kini oleh Polda Metro Jaya. Bagian yang memeriksa dia adalah bagian KEAMANAN NEGARA.

Seharian, 16/8/2009, Pak Khoe mengirimkan SMS, cerita bahwa segala pemeriksaan itu adalah upaya membuat ia menyerah, bungkam selamanya, sehingga tidak menjadi inspirasi bagi ribuan penyewa properti (dari pengembang itu) lainnya untuk ramai-ramai mengungkapkan (hal yang diduga sebagai) kecurangan-kecurangan si pengembang bersangkutan. Perkembangan ini telah saya kabarkan ke AJI, pemberi award, dan juga teman-teman di milis EI.

Well, Gus Muh dan mBak Diana, sekian dulu kabar dari Wonogiri. Saya belum bisa menulis di blog lagi. Esok, didaulat jadi pembicara dalam acara peluncuran blog di Solo, www.mediakeberagaman.com. Mau cerita ujaran Chris Anderson tentang si buntut panjang diramu kata-kata Pak Samuel Huntington bahwa dalam dunia politik kontemporer yang kini sedang membara adalah, “the age of muslim wars.”

Agar tak nampak sangat vakum, ya, saya menulis obrolan ini pula untuk Anda berdua. Salam untuk Eri Irawan di Surabaya. Kok aku engga dicantumin di berita Ibuku :-( ?

Salam episto ergo sum,

Bambang Haryanto


Informasi terkait :

  • Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah
  • Being Digital Sampai Surat Cinta Berabjad Rusia
  • Inilah 5 Buku Favorit Presiden Epistoholik Indonesia
  • Kaum Epistoholik Punya 5 Blog Tongkrongan
  • Virus Obama Menyebar di Puncak Brengos
  • Surat dari Presiden Rakyat Epistoholik



  • pps

    The Intros : POD

    6 Sept 2009

    The Beginning

    6 sept 2009